Sumber
mata pencaharian terbesar penduduk Indonesia adalah pertanian. Tapi apa jadinya
bila sumber penghidupan mereka itu didapati sebagai daerah timbunan tambang
seperti mineral atau batubara. Apa lagi bila investornya pihak asing yang tidak
mengerti bagaimana budaya masyarakat setempat. Meski dalam kenyataannya adalah
pemerintah terkait sebagai perwakilan rakyatlah yang melancarkan jalannya usaha
“perampasan” mata pencaharian masyarakat oleh asing tersebut.
Hal ini memang tidak dapat dihindari mengingat jargon-jargon korup masih beranak-pinak di birokrasi Indonesia. Alhasil rakyatlah pengalihannya.
Hal ini memang tidak dapat dihindari mengingat jargon-jargon korup masih beranak-pinak di birokrasi Indonesia. Alhasil rakyatlah pengalihannya.
Bila
pemerintah menyatakan bahwa syarat 60% (enam puluh persen) tenaga kerja pada
usaha pertambangan haruslah penduduk lokal daerah sekitar tambang seperti yang
diterapkan ketua Komisi A DPRD Barito Utara. Namun di lapangan hal
itu di anggap angin lalu. Alasan paling klasik adalah bahwa bekal pendidikan
penduduk lokal tidak terakomodasi oleh perusahaan. Perlu diketahui bahwa
Indonesia turun dari peringkat 65 ke peringkat 69 dari 127 negara yang disurvei
berdasarkan data Education for All (EFA) Global Monitroring Report
2011 yang dikeluarkan UNESCO.
Disisi lain sebenarnya
hilangnya mata pencaharian penduduk akibat tambang ini juga menimbulkan
terbukanya lapangan kerja baru namun diluar dari konteks usaha tambang itu
sendiri. Lahirnya kompleks-kompleks pelacuran misalnya. Di Kecamatan Melak, Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur, ditemukan empat kompleks pelacuran di sekitar lokasi
operasional dua perusahaan pertambangan batu bara perusahaan multinasional
(MNC). Ironis memang dan bukan menyelesaian dari masalah lapangan kerja kita.
Sesuai dengan Undang-
undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara pasal 65
ayat 2 mengenai persyaratan administrasi, teknis, lingkungan dan finansial
diatur dengan peraturan pemerintah harusnya pemerintah sebagai bagian dari
rakyat dapat bijak dalam memutuskan. Toh sektor pertanian menyerap 33% tenaga
kerja. Lebih beas dibandingkan sektor pertambangan yang hanya menyerap 6%
tenaga kerja. Meski sumbangan pertambangan untuk perekonomian jauh lebih besar. Pertambangan berkontribusi kurang
lebih 45% pada produk domestik regional bruto (PDRB). Adapun sektor pertanian
cuma berkontribusi 6% bagi PDRB. Tapi bukannya lebih baik memajukan pertanian
yang jelas-jelas merata dan hasilnya terang diperoleh oleh petani. Lain halnya
dengan meningkatkan perekonomian yang uangnya lari ke pusat dan berbagilah para
elit politik itu.
0 komentar:
Posting Komentar