Tulisan
ini dikumpulkan dari donasi teman-teman yang dengan terbuka memaparkan
unek-uneknya meski bukan cerita suka cita. Sambil berkeringat semangat atau
dengan pasang muka masam bin suntuk yang buat saya ikut mengerut. Bisa karena
tidak mengerti bahasa yang mereka gunakan saking berbelitnya atau ikut miris
dengan perjuangan mereka untuk menuntut ilmu. Apalagi kalau bukan tentang bus
unsri yang urgent namun dangerous.
Kesemua koresponden setuju kalau tranportasi
utama universitas ini lebih banyak modarat dari faedahnya. Salah satunya adalah
“perang sikut”. Istilah itu saya dengar pertama dari seorang teman di fakultas
ekomoni. Kabarnya perang yang satu ini tidak kenal gender. Lelaki-perempuan, muslimah-kristian,
kalau ingin cepat sampai tujuan harus siapkan sikut tajam mereka.
Hal
ini sempat merangas saat mahasiswa dari fakultas tehnik dan fakultas ekomoni
bersiteru pasal bersikut ria di terminal unsri kampus Palembang. Hingga salah
satu dari mereka jatuh dan merasa tersinggung lalu timbul pertengkaran yang
berlanjut sampai ke Indralaya. Miris memang, mengingat pertengkaran yang hanya
karena berebut kursi dalam bus dan parahnya di lakukan oleh mahasiswa yang
harusnya bisa berpikir lebih rasional dan bukannya malah beradu otot. Namun
inilah yang terjadi. Fasilitas bus yang kurang memadai membuat semua orang
saling berebut untuk mendapatkan kursi hingga timbul persaingan tidak sehat dan
membuat tidak sedikit orang kepalanya bocor atau tangan wajah mereka terluka.
Pihak
rektorat sendiri sudah mengambil “tindakan” dengan mengumpulkan pihak yang
terkait dan menyelesaikannya secara damai. Namun bila bus tetap dibiarkan
minim, kemungkinan timbul perselisihan-perselisihan baru akan terbuka lebar dan
menjadi ancaman tersendiri bagi para pejabat unsri. Kalau sudah begini sangsi
ilmu di unsri akan tetap jadi alat pengabdian.
Dampak
negative lain adalah terbuangnya waktu dengan percuma karena keadaan jalan
Palembang-Indralaya yang seperti dinding gua, tidak rata dan sempit. Belum lagi
mobil-mobil pengangkut batu bara dan truk pengikis aspal lain yang ikut
meramaikan jalan sesak nan berdebu dan menambah kuantitas kendaraan. Alhasil
macet tidak terelakkan. Seperti kata dekan FH Unsri di beberapa seminar yang
saya ikuti, kalau biasa Palembang-Indralaya tembus satu jam, sekarang kata
“insyAllah” cukup untuk menggambarkan jarak antara dua kota ini. InsyAllah dua
jam, tiga jam. Bahkan beberapa hari yang lalu dari status facebook teman, saya
lihat sudah empat jam terjebak macet.
Dengan
waktu sebanyak itu sebenarnya mereka bisa menyelesaikan tugas atau membaca
beberapa halaman buku. Tapi sayangnya tidak bisa. Dengan kondisi jalan semeraut
dan cuaca kering yang tidak bersahabat, lelah saja yang menggerayangi. Kebanyakan
sibuk mengipas diri. Selebihnya mendengarkan music dari handphone atau MP3
hingga baterai drop karena intensnya digunakan. Atau bolak-balik buka twitter
untuk sekedar berkicau lantang tentang kekesalan mereka di dalam bus yang
gersang dan dengan bokong yang kian tipis. Kemudian saling mantion umpatan dan
caci maki yang pastinya tidak mungkin di retweet pihak rektorat.
Masalah
pokoknya memang bukan hanya di tubuh pejabat universitas tapi peran serta
pemerintah dalam pembangunan infrastruktur daerah juga turut andil. Hal ini
berkaitan dengan persiapan Sea Games yang kian gencar dan sialnya ikut
mempengarui penggiat ilmu seperti mahasiswa dan dosen.
Di sisi lain kerja sama dengan mahasiswa demi
terciptanya ketertiban umum di tengah fasilitas minim juga perlu di tingkatkan.
Mungkin perlu ada sosialisasi untuk mahasiswa tentang perjuangan dalam tiap
perjalanan. Termasuk dalam menuntut ilmu. Meski begitu bukan berarti keadaan
ini akan dibiarkan berlarut-larut.
Faedah
satu-satunya dari keadaan ini adalah mereka tetap sampai Indralaya meski wajah
penuh debu dan otak keburu stress sebelum kuliah mulai juga tidak tepat waktu
dengan sambutan senyum kecut semua orang akan memakluminya. Walau di kemudian
hari hal itulah yang akan mengingatkan mereka akan masa-masa kuliah. Hal ini
yang saya dapat dari alumnus yang dikenal.
Semoga
saja rektorat tidak terlalu lama menutup panca indera mereka. Membungkam mulut
karena tidak tahu harus mengelak apa lagi saat ditanya perihal bus. Tutup mata
ketika disinggung kerusuhan yang marak terjadi pasal bus. Mendadak tidak dengar
demonstran yang menuntut tambahan bus. Juga jadi tidak perasa akan jeritan hati
mahasiswanya. Kalaupun rektorat mengikutsertakan pemerintah dalam kasus ini,
seharusnya mereka punya inisitif lebih untuk “melobi” pemerintah. Toh rektorat
juga pejabat dengan title berantet yang pastinya cerdas. Maka dari itu harus
cerdas pula mengatasi persoalan urgent ini.
0 komentar:
Posting Komentar