Sabtu, 17 Desember 2011

Urgensi Bus Unsri yang Dangerous


Tulisan ini dikumpulkan dari donasi teman-teman yang dengan terbuka memaparkan unek-uneknya meski bukan cerita suka cita. Sambil berkeringat semangat atau dengan pasang muka masam bin suntuk yang buat saya ikut mengerut. Bisa karena tidak mengerti bahasa yang mereka gunakan saking berbelitnya atau ikut miris dengan perjuangan mereka untuk menuntut ilmu. Apalagi kalau bukan tentang bus unsri yang urgent namun dangerous.
 Kesemua koresponden setuju kalau tranportasi utama universitas ini lebih banyak modarat dari faedahnya. Salah satunya adalah “perang sikut”. Istilah itu saya dengar pertama dari seorang teman di fakultas ekomoni. Kabarnya perang yang satu ini tidak kenal gender. Lelaki-perempuan, muslimah-kristian, kalau ingin cepat sampai tujuan harus siapkan sikut tajam mereka.
Hal ini sempat merangas saat mahasiswa dari fakultas tehnik dan fakultas ekomoni bersiteru pasal bersikut ria di terminal unsri kampus Palembang. Hingga salah satu dari mereka jatuh dan merasa tersinggung lalu timbul pertengkaran yang berlanjut sampai ke Indralaya. Miris memang, mengingat pertengkaran yang hanya karena berebut kursi dalam bus dan parahnya di lakukan oleh mahasiswa yang harusnya bisa berpikir lebih rasional dan bukannya malah beradu otot. Namun inilah yang terjadi. Fasilitas bus yang kurang memadai membuat semua orang saling berebut untuk mendapatkan kursi hingga timbul persaingan tidak sehat dan membuat tidak sedikit orang kepalanya bocor atau tangan wajah mereka terluka.
Pihak rektorat sendiri sudah mengambil “tindakan” dengan mengumpulkan pihak yang terkait dan menyelesaikannya secara damai. Namun bila bus tetap dibiarkan minim, kemungkinan timbul perselisihan-perselisihan baru akan terbuka lebar dan menjadi ancaman tersendiri bagi para pejabat unsri. Kalau sudah begini sangsi ilmu di unsri akan tetap jadi alat pengabdian.
Dampak negative lain adalah terbuangnya waktu dengan percuma karena keadaan jalan Palembang-Indralaya yang seperti dinding gua, tidak rata dan sempit. Belum lagi mobil-mobil pengangkut batu bara dan truk pengikis aspal lain yang ikut meramaikan jalan sesak nan berdebu dan menambah kuantitas kendaraan. Alhasil macet tidak terelakkan. Seperti kata dekan FH Unsri di beberapa seminar yang saya ikuti, kalau biasa Palembang-Indralaya tembus satu jam, sekarang kata “insyAllah” cukup untuk menggambarkan jarak antara dua kota ini. InsyAllah dua jam, tiga jam. Bahkan beberapa hari yang lalu dari status facebook teman, saya lihat sudah empat jam terjebak macet.
Dengan waktu sebanyak itu sebenarnya mereka bisa menyelesaikan tugas atau membaca beberapa halaman buku. Tapi sayangnya tidak bisa. Dengan kondisi jalan semeraut dan cuaca kering yang tidak bersahabat, lelah saja yang menggerayangi. Kebanyakan sibuk mengipas diri. Selebihnya mendengarkan music dari handphone atau MP3 hingga baterai drop karena intensnya digunakan. Atau bolak-balik buka twitter untuk sekedar berkicau lantang tentang kekesalan mereka di dalam bus yang gersang dan dengan bokong yang kian tipis. Kemudian saling mantion umpatan dan caci maki yang pastinya tidak mungkin di retweet pihak rektorat.
Masalah pokoknya memang bukan hanya di tubuh pejabat universitas tapi peran serta pemerintah dalam pembangunan infrastruktur daerah juga turut andil. Hal ini berkaitan dengan persiapan Sea Games yang kian gencar dan sialnya ikut mempengarui penggiat ilmu seperti mahasiswa dan dosen.
 Di sisi lain kerja sama dengan mahasiswa demi terciptanya ketertiban umum di tengah fasilitas minim juga perlu di tingkatkan. Mungkin perlu ada sosialisasi untuk mahasiswa tentang perjuangan dalam tiap perjalanan. Termasuk dalam menuntut ilmu. Meski begitu bukan berarti keadaan ini akan dibiarkan berlarut-larut.
Faedah satu-satunya dari keadaan ini adalah mereka tetap sampai Indralaya meski wajah penuh debu dan otak keburu stress sebelum kuliah mulai juga tidak tepat waktu dengan sambutan senyum kecut semua orang akan memakluminya. Walau di kemudian hari hal itulah yang akan mengingatkan mereka akan masa-masa kuliah. Hal ini yang saya dapat dari alumnus yang dikenal.
Semoga saja rektorat tidak terlalu lama menutup panca indera mereka. Membungkam mulut karena tidak tahu harus mengelak apa lagi saat ditanya perihal bus. Tutup mata ketika disinggung kerusuhan yang marak terjadi pasal bus. Mendadak tidak dengar demonstran yang menuntut tambahan bus. Juga jadi tidak perasa akan jeritan hati mahasiswanya. Kalaupun rektorat mengikutsertakan pemerintah dalam kasus ini, seharusnya mereka punya inisitif lebih untuk “melobi” pemerintah. Toh rektorat juga pejabat dengan title berantet yang pastinya cerdas. Maka dari itu harus cerdas pula mengatasi persoalan urgent ini.

0 komentar:

Posting Komentar