Sabtu, 28 April 2012

Sabokingking, Makam Tanpa Kesan Mistis



Sabokingking, nama asing bagi saya ketika pertama kali di ajak salah satu teman untuk ikut penyuluhan hukum, kegiatan fakultas, di sana. Pikir saya, sejenis tempat latihan tinju atau sumo. Bahkan sempat terbesit itu tempat prostitusi. Perkiraan awal saya saat masih di dalam mobil yang penuh  kotak snack dan dengan kepala yang tersangkut tiang layar manual proyektor yang kami bawa, Sabokingking ada di pedalaman. Melewati bukit, masuk ke desa-desa, menyeberangi jembatan, melintasi barisan pohon-pohon teratur dan memakan waktu lama untuk sampai. Tapi ternyata, dari daerah IBA di Jalan Mayor Ruslan tempat kami berkumpul lebih kurang setengah jam. Tepatnya di Jalan Sabokingking, kelurahan Sungai Buah kecamatan Ilir Timur II.
Dari spanduk di dalam mobil yang saya baca, Sabokingking adalah situs bersejarah. Namun herannya tidak tampak seperti demikian. Letaknya yang masuk melalui lorong sempit dan dekat dengan rawa serta kolam juga ditengah permukiman warga, makam itu tampak tidak beda jauh dengan masjid yang ada di depannya. Warna bangunannya hijau, sepertinya baru dicat ketika kami datang, tempatnya bersih dan asri dengan pohon-pohon rindang dan kolam luas di sekelilingnya. Untuk berjalan menuju bangunan pun kita melewati jalan setapak di antara genangan air kolam.
Begitu menapakkan kaki di teras depannya saya dan peserta lainnya heran. Di benak kami bertanya-tanya, dimana letak makamnya. Mungkin di belakang bangunan ini, batin saya. Kenapa tidak, dari terasnya saja sudah cantik dengan keramik putih. Belum tampak kesan mistis dari sebuah makam lama.
Kami disambut oleh dua orang pengelola makam dengan ramah, seorangnya sibuk membentangkan beberapa tikar dan seorangnya lagi masuk ke ruangan lain sehabis menyapa. Tapi belum sempat duduk saya sudah diajak oleh seorang dosen yang kenal baik untuk mengikutinya ke ruangan sebelah yang tadi dimasuki oleh salah satu pelelola makam.
            Deretan makam berjajar beraturan diruang hijau berkeramik bersih. Tidak seperti ‘kuburan’ pada umumnya. Wangi bunga juga tercium benar. Setelah mengucap salam pada setiap makan, seorang dosen juga mengajak berdoa lalu mendiskripsikan setiap nama yang tertera pada nisan. Diantaranya Pangeran Sido Ing Puro  dan Pangeran Sido Ing Pasarean serta istri Pangeran Sido Ing Kenayan, Ratu Sinuhun yang diyakini sebagai penulis kitab Simbur Cahaya atau "pengesahan" hukum adat (hukum lisan). Selain itu juga ada makam anak, cucu hingga  cicit bangsawan Palembang tersebut.
            Keluar dari ruang dengan lebih dari tujuh makam itu, kami pindah ke ruang lain. Salah seorang dari pengelola makam saya lihat di tempat itu. Bersama dua orang yang saya pikir pengunjung juga. Selagi sang dosen menjelaskan siapa pengisi dua makam di ruang itu, saya tetap mengamati pengunjung lain itu, yang salah satunya berpakaian dinas polisi. Kemudian dengan jelas saya lihat, pengelola makam menyodorkan bungkusan kain ke temannya polisi itu. Mungkin jimat, pikir saya.
            Habis ‘nyekar’ kami berkumpul di ruang tengah makam yang baru saya ketahui telah dijadikan sebagai cagar budaya oleh pemerintah Sumatera Selatan. Dua whiteboard besar dipajang memaparkan silsilah raja Palembang. Tulisannya padat dan terlalu kecil yang itu artinya begitu kompleksnya silsilah bangsawan itu.
            Nurdin, nama seorang pengelola makam setelah dia memperkenalkan diri saat acara dimulai, menjelaskan bahwa banyak dari para peziarah yang menyumbang untuk pengembangan cagar budaya. Diantara mereka bahkan ada yang bernazar untuk membangun atap atau memberikan keramik dan karpet. Meski pada akhirnya pembangunan tersebut merusak keaslian kawasan makam yang diatur dalam UU RI no.11 tahun 2010 tentang cagar budaya. Maka dari itu penyuluhan hukum diadakan. 
Disinggung mengenai peran pemerintah dalam pelestarian cagar budaya ini, Nurdin dengan lancar menjawab “Pemerintah mulai peduli pada awal tahun 2008. Sebelumnya memang tidak ada perhatian dari pemerintah. Setelah awal 2008 baru mereka memberi dana lalu tempat ini dijadikan cagar budaya.”
            Harapan besarnya sekarang adalah bahwa pelestarian budaya Sumatra Selatan tidak hanya di Sabokingking. Tapi juga di makam-makam dan situs bersejarah lainnya. Di samping itu, pelestarian cagar budaya tetap harus memperhatiakan seaslian situs bersejarah. Di tambah lagi dengan promosi yang baik akan semakin membantu perkembangannya. Salah satunya adalah dengan kompetisi Blog “Pesona Sumatera Selatan” ini. Semoga berdampak positif bagi Sumatera Selatan kita tercinta.










0 komentar:

Posting Komentar