Rabu, 03 Juni 2015

Mendaki Bukit Besar dengan Restu

Takkan lari gunung dikejar. Itu yang pas menggambarkan keadaan saya ketika planning ke 5 untuk naik gunung akhirnya bakal terwujud. Benar saja, sejak dua tahun yang lalu saya sudah mendambakan puncak gunung dan setahun belakangan sudah diam-diam nyicil perlengkapan untuk mendaki tapi gilirannya ada teman yang buka trip ada saja halangannya. Sejujurnya alasan utama adalah restu orang tua. Jadi orang tua saya ita selalu mengembalikan keputusan pada anak-anaknya sendiri. Nah disitu saya bimbang, mereka bilang “ Terserah. Tapi menurut mbak gimana kalau disini mama papa was was. Tega?” Wah jangan ditanya, saya pasti langsung kepikiran dan luluh lalu sesuai keinginan mereka, cancel. Tapi saya tidak menyerah.
Di rencana trip pertama dan kedua faktor cuaca yang jadi alibi mereka supaya saya urungkan niat. Di rencana yang ketiga alasannya harus tuntas skripsi dulu padahal saya sudah bilang kalau DP sudah di transfer. Di kali ke empatnya saya akan muncak, batal di detik-detik terakhir karena alasan mengurus kuliah yang sebenarnya masih bisa ditunda. Namun akhirnya terasa juga mendaki itu bagaimana. Walau yang berhasil dapat restu adalah Bukit Besar. Tepatnya di Desa Perangai Kecamatan Merapi Selatan Kabupaten Lahat.
Untuk sampai ke Lahat (dari Palembang) ada beberapa cara. Pertama dengan kereta dar Stasiun Kertapati ke Lahat, biayanya Rp 35.000/orang untuk kereta pagi. Perlu diingat harga kereta pagi dan malam sangat berbeda jauh, kereta malam lebih mahal. Cara kedua bisa dengan bus. Ada beberapa bus yang punya treyek ke Lahat salah satunya yang saya naiki kemarin adalah Telaga Biru. Tiket dan naiknya dari Terminal Karya Jaya dengan harga Rp 50.000/orang. Sedangkan cara ketiga adalah dengan naik travel yang pastinya lebih cepat sampai tujuan tapi biayanya antara Rp 70.000 – Rp 90.000/orang. Selanjutnya dari stasiun atau terminal di Lahat bisa diteruskan dengan naik angkutan umum. Kalau dari terminal harga yang dipatok adalah Rp 20.000/orang dan biasanya supir memberi harga yang lebih tinggi untuk pembuka, jangan sungkan untuk menawar.
Full team

Di perjalanan menuju Desa Perangai kita disuguhkan pemandangan yang berbeda. Daerah pertambangan. Tanah tandus sekitar setengah dari perjalanan akan jadi pemandangan buruk untuk mata. Siapkan saya masker karena debunya membabi buta bersamaan dengan kencangnya angin dan dalamnya pedal gas yang ditekan pak supir. Setangah jalan selanjutnya dilalui dengan medan yang naik turun, untuk yang gampang maul harap siaga.

Dengan ketinggian 1700 mdpl bukit ini sukses membuat saya ngos-ngosan. Belum setengah jalan baju saya sudah basah oleh keringat. Padahal medannya adalah jalan semen dan belum terlalu menanjak. Sejujurnya itu karena semangat saya yang membara. Jadi diawal berjalan saya sudah pakai gigi 4 karena mengikuti pendaki lain yang juga ramai mendaki saat itu (sedang libur panjang). Alhasil sejam berjalan saya sudah istirahat dengan bermandikan keringat. Sontak teman-teman satu trip saya menenangkan. Mencoba memberi minum dan menyemangati dan jujur saya memang merasa sangat lelah tapi tidak ada pikiran sama sekali untuk mengurungkan niat dan pergi turun, not at all
Jalur pendakian berbatu dan curam

Jalur mendakian berpasir dan licin

Shelter 2. tepat ditengah perjalanan terdapat warung untuk sarapan dan tersedian juga air dingin

Sejak dari itu setiap 15 menit kami harus berhenti untuk mengambil napas, lebih tepatnya saya yang harus berhenti dan teman-teman yang lalu mengikuti. Kejutannya adalah ternyata jalur semen ini bisa dan boleh dilalui oleh motor. Warga sekitar menyediakan jasa ojek, mengantarkan pengunjung untuk menyelesaikan setangah jalan pendakiannya. Tapi saya tidak tergoda.
Ojek mencari penumpang

Jalan semen

Bila normalnya 2 jam untuk sampai ke puncak, kami (saya) menghabiskan 1 jam lebih lama. Tidak masalah untuk pemula (membesarkan hati sendiri). Tapi sayangnya tiba saat matahari sudah benar-benar turun. Gelap dan ramai. Ternyata sudah banyak tenda-tenda yang berdiri saat itu, sudah seperti pasar malam dan hadiah untuk malam itu adalah melihat kota Lahat dalan bentuk cahaya. Hanya lampu-lampu saja. Seperti bukit bintang di puncak bogor katanya (karena saya belum pernah ke puncak bogor). Suasananya membuat tidak ingin tidur karena begitu excited nya saya sudah berada di puncak bersama api unggun dan paduan suara diiringi gitar standar dari tenda tetangga.
Malam malam dalam gelap


Sudah tidur larut tapi jangan melewatkan sunrise. Dari tenda berdiri ke puncak bukit sekitar 3 menit mendaki dan Gunung Jempol akan menjadi background foto bersamaan dengan matahari terbit. Indah.
Menunjuk Gunung Jempol

Ditepi puncak

Sunrise di puncak Bukit Besak

Pemandangan dari puncak ke kumpulan tenda-tenda

Setiap orang punya ceritanya sendiri untuk setiap pendakian. Untuk mendakian pertama saya ini sangat indah karena restu orang tua, yang paling perpenting. Selain itu benar orang bilang, dihutan sifat asli manusia akan lebih terlihat. Mana yang egonya tinggi, yang jiwa pemimpin,  ada yang hanya banyak bicara, atau yang sikapnya bos. Di trip ini tidak, dari sepuluh orang yang ikut hanya 3 orang yang saya kenal baik. Sisanya, ada yang terus menjalin silaturahmi sampai saat ini ada pula yang saya hindari karena sikapnya yang annoying dan yang masih berkomunikasi sampai sekarang malah punya rencana untuk membuat trip part 2.
Semoga selalu bertemu dengan orang-orang baik. Amin. 

4 komentar:

  1. Kapan nih ngetrip k bukit besar lg?

    BalasHapus
  2. Kak, keren pengalaman nya, tapi saya mau tanya waktu kalian mendaki terdapat halangan2 yg berat gak kak?

    BalasHapus
  3. Di sana ada yg nyewain teda gak ?

    BalasHapus