Takkan lari gunung dikejar. Itu yang pas menggambarkan keadaan
saya ketika planning ke 5 untuk naik gunung akhirnya bakal terwujud. Benar saja,
sejak dua tahun yang lalu saya sudah mendambakan puncak gunung dan setahun
belakangan sudah diam-diam nyicil perlengkapan untuk mendaki tapi gilirannya
ada teman yang buka trip ada saja halangannya. Sejujurnya alasan utama adalah
restu orang tua. Jadi orang tua saya ita selalu mengembalikan keputusan pada
anak-anaknya sendiri. Nah disitu saya bimbang, mereka bilang “ Terserah. Tapi menurut
mbak gimana kalau disini mama papa was was. Tega?” Wah jangan ditanya, saya
pasti langsung kepikiran dan luluh lalu sesuai keinginan mereka, cancel. Tapi saya
tidak menyerah.
Di rencana trip pertama dan kedua faktor cuaca yang jadi
alibi mereka supaya saya urungkan niat. Di rencana yang ketiga alasannya harus
tuntas skripsi dulu padahal saya sudah bilang kalau DP sudah di transfer. Di kali
ke empatnya saya akan muncak, batal di detik-detik terakhir karena alasan
mengurus kuliah yang sebenarnya masih bisa ditunda. Namun akhirnya terasa juga
mendaki itu bagaimana. Walau yang berhasil dapat restu adalah Bukit Besar.
Tepatnya di Desa Perangai Kecamatan Merapi Selatan Kabupaten Lahat.
Untuk sampai ke Lahat (dari Palembang) ada beberapa cara. Pertama
dengan kereta dar Stasiun Kertapati ke Lahat, biayanya Rp 35.000/orang untuk
kereta pagi. Perlu diingat harga kereta pagi dan malam sangat berbeda jauh,
kereta malam lebih mahal. Cara kedua bisa dengan bus. Ada beberapa bus yang
punya treyek ke Lahat salah satunya yang saya naiki kemarin adalah Telaga Biru.
Tiket dan naiknya dari Terminal Karya Jaya dengan harga Rp 50.000/orang. Sedangkan
cara ketiga adalah dengan naik travel yang pastinya lebih cepat sampai tujuan
tapi biayanya antara Rp 70.000 – Rp 90.000/orang. Selanjutnya dari stasiun atau
terminal di Lahat bisa diteruskan dengan naik angkutan umum. Kalau dari
terminal harga yang dipatok adalah Rp 20.000/orang dan biasanya supir memberi
harga yang lebih tinggi untuk pembuka, jangan sungkan untuk menawar.
|
Full team |
Di perjalanan menuju Desa Perangai kita disuguhkan pemandangan
yang berbeda. Daerah pertambangan. Tanah tandus sekitar setengah dari
perjalanan akan jadi pemandangan buruk untuk mata. Siapkan saya masker karena
debunya membabi buta bersamaan dengan kencangnya angin dan dalamnya pedal gas
yang ditekan pak supir. Setangah jalan selanjutnya dilalui dengan medan yang
naik turun, untuk yang gampang maul harap siaga.
Dengan ketinggian 1700 mdpl bukit ini sukses membuat saya
ngos-ngosan. Belum setengah jalan baju saya sudah basah oleh keringat. Padahal
medannya adalah jalan semen dan belum terlalu menanjak. Sejujurnya itu karena
semangat saya yang membara. Jadi diawal berjalan saya sudah pakai gigi 4 karena
mengikuti pendaki lain yang juga ramai mendaki saat itu (sedang libur panjang).
Alhasil sejam berjalan saya sudah istirahat dengan bermandikan keringat. Sontak
teman-teman satu trip saya menenangkan. Mencoba memberi minum dan menyemangati
dan jujur saya memang merasa sangat lelah tapi tidak ada pikiran sama sekali
untuk mengurungkan niat dan pergi turun, not
at all.
|
Jalur pendakian berbatu dan curam |
|
Jalur mendakian berpasir dan licin |
|
Shelter 2. tepat ditengah perjalanan terdapat warung untuk sarapan dan tersedian juga air dingin |
Sejak dari itu setiap 15 menit kami harus berhenti untuk mengambil
napas, lebih tepatnya saya yang harus berhenti dan teman-teman yang lalu
mengikuti. Kejutannya adalah ternyata jalur semen ini bisa dan boleh
dilalui oleh motor. Warga sekitar menyediakan jasa ojek, mengantarkan
pengunjung untuk menyelesaikan setangah jalan pendakiannya. Tapi saya tidak
tergoda.
|
Ojek mencari penumpang |
|
Jalan semen |
Bila normalnya 2 jam untuk sampai ke puncak, kami (saya)
menghabiskan 1 jam lebih lama. Tidak masalah untuk pemula (membesarkan hati
sendiri). Tapi sayangnya tiba saat matahari sudah benar-benar turun. Gelap dan
ramai. Ternyata sudah banyak tenda-tenda yang berdiri saat itu, sudah seperti
pasar malam dan hadiah untuk malam itu adalah melihat kota Lahat dalan bentuk
cahaya. Hanya lampu-lampu saja. Seperti bukit bintang di puncak bogor katanya
(karena saya belum pernah ke puncak bogor). Suasananya membuat tidak ingin tidur
karena begitu excited nya saya sudah
berada di puncak bersama api unggun dan paduan suara diiringi gitar standar
dari tenda tetangga.
|
Malam malam dalam gelap |
Sudah tidur larut tapi jangan melewatkan sunrise. Dari tenda
berdiri ke puncak bukit sekitar 3 menit mendaki dan Gunung Jempol akan menjadi
background foto bersamaan dengan matahari terbit. Indah.
|
Menunjuk Gunung Jempol |
|
Ditepi puncak |
|
Sunrise di puncak Bukit Besak |
|
Pemandangan dari puncak ke kumpulan tenda-tenda |
Setiap orang punya ceritanya sendiri untuk setiap pendakian.
Untuk mendakian pertama saya ini sangat indah karena restu orang tua, yang paling
perpenting. Selain itu benar orang bilang, dihutan sifat asli manusia akan
lebih terlihat. Mana yang egonya tinggi, yang jiwa pemimpin, ada yang hanya banyak bicara, atau yang
sikapnya bos. Di trip ini tidak, dari sepuluh orang yang ikut hanya 3 orang
yang saya kenal baik. Sisanya, ada yang terus menjalin silaturahmi sampai saat
ini ada pula yang saya hindari karena sikapnya yang annoying dan yang masih berkomunikasi sampai sekarang malah punya
rencana untuk membuat trip part 2.
Semoga selalu bertemu dengan orang-orang baik. Amin.
Kapan nih ngetrip k bukit besar lg?
BalasHapusikut dong kak kalo ksna lgi
BalasHapusKak, keren pengalaman nya, tapi saya mau tanya waktu kalian mendaki terdapat halangan2 yg berat gak kak?
BalasHapusDi sana ada yg nyewain teda gak ?
BalasHapus