Jumat, 25 Maret 2011

Pejabat Rakyat

Para pejabat yang katanya terhormat itu, yang sering terlambat saat rapat tentang rakyat dan selalu berpikir hemat ketika bicara soal duit untuk rakyat, kemudian jadi sok cermat saat mengajukan anggaran naik gaji atau mobil baru atau untuk renovasi rumah dinas atau untuk gedung kerja baru atau untuk apapun yang dapat mereka nikmati sendiri yang bukan untuk rakyat pastinya.

Mereka yang jadi bungkam saat rombongan buruh miskin demo naik gaji, saat gerombolan ibu-ibu dan janda-janda ribut pasal harga yang makin mencekik, saat bapak-bapak dan para pria pengangguran minta pertangungjawaban atas lapangan kerja yang layak. Ada saja yang berani bicara, sok pahwalan bak pria yang bergombal ria. Mengumbar-ngumbar kerja yang kata mereka “keras”. Apa kerasnya dibandingkan kuli panggul yang pendapatan hariannya hanya cukup untuk hidupkan seorang kepala sementara dirumah ada mertuanya yang menumpang, ada adik iparnya yang masih harus sekolah dan setengah lusin anak yang butuh susu, bubur, dan buku.

Apa beratnya lagi untuk mereka. Yang sudah ketahuan rentetan title-nya. Yang katanya sudah banyak pengalaman. Yang kelihatannya “ramah” padahal “tamak“. Yang janjinya akan membuat perubahan. Ya, mungkin mereka benar. Mereka telah membuat perubahan. Membuat si bapak makin pucat karena tak punya pekerjaan yang layak atau kerjaannya bergaji jauh dibawah UMP. Membuat ibu-ibu keluar rumah turut membentuk otot demi bayar SPP untuk anaknya yang selalu menahan malu kerena ditagih guru di depan kelas. Membuat kakek nenek tua menahan sakit karena tak mampu berobat bahkan sampai bunuh diri karena lelah.

Mungkin mereka benar, mereka membuat perubahan. Menjadikan demokrasi kian rancu, memahat UU sehingga kaku, menjalankan pemerintahan dengan “caraku”. Sesuka hati anda.

Saya pernah terbayang, bagaimana kalau semuanya terbalik. Orang-orang berjas nerces itu turun derajat jadi kere. Sebagai gantinya, perwakilan buruh, TKI, pagawai honor yang sudah 5 tahun belum juga diangkat jadi PNS, penyandang cacat fisik tapi jenius otaknya yang sering dapat diskriminasi dalam hal pekerjaan, atau mereka petani kampung yang bahkan tak lulus SD tapi punya mental baja.

Hha, itu hanya pikiran konyol saya.

0 komentar:

Posting Komentar