Dimas, Cantik dan Rizka |
Akhirnya kesampean juga bertemu Dimas, anak
penderita tumor yang beberapa hari ini sedang kami perjuangkan. Dan seperti itulah wajahnya. Jujur kata
pertama yang terlintas di benak saya adalah “ngeri”. Biarpun Dimas sudah ada di
depan mata saya bersama tumor hidupnya tapi tetap sesara itu hanya mainan.
Seperti silikon lunak yang bergelayut di wajah polos anak aktif itu.
Mata kiri, hidung dan hampir seluruh bagian
mulutnya ikut menjadi kelenjar. Suaranya tertahan namun tetap terdengar
lantang. Geraknya tetap lincah. Berlarian kesana-kemari seperti layaknya anak
tujuh tahun lainnya. Sempat saya terpikir, apa tumornya tidak sakit saat ia
berlarian. But he like no burden. Saat semangatnya tetap kuat untuk berteriak “tante..”
atau meminta “om, gendong-gendong..” Tanpa rasa minder atau rendah diri.
Dimas tidak bisa diam. Saya tahu usianya sekarang adalah masa paling baik untuk mengarahkan potensi dan bakatnya.
Harusnya dia duduk manis dikelas, memakai seragam merah-putih, berbaris
menghormati bendera ketika upacara hari Senin. Mungkin dia bisa jadi pemain
sepak bola atau pelari estafet bersama si Cantik, adiknya. Pasalnya mereka
kompak. Dimas ke teras, Cantik ke teras. Dimas mainkan lampu masjid, Cantik
ikutan juga. Cantik angkat kursi, Dimas
juga bantu angkat kursi. Atau Dimas bisa jadi pelempar lembing, pemain
badminton, atlit basket, pianis atau gitaris karena jarinya yang lentik,
mungkin jurnalis. Hhaha...
Sayangnya belum bisa. Tidak ada teman sebaya untuk
Dimas yang mau berbagi jajanan dengannya atau membantunya menerbangkan
layang-layang di tanah lapang. Belum ada sekolah yang cukup lapang dada
menerima murid se-aktif Dimas bersama dengan tumornya. Tapi saya bisa mengerti,
mungkin ibu guru khawatir murid-muridnya ketakutan.
Cepat sembuh ya Dimas. Semoga salah satu dari deretan
cita-cita yang saya tuliskan bisa jadi milikmu, Dimas.
0 komentar:
Posting Komentar