Kamis, 02 Februari 2012

Saharuddin : Kekurangan Saya adalah Kelebihan yang Tersembunyi


foto: detak-unsyiah.com

Menurut beliau, kekurangan fisiknya merupakan suatu kelebihan yang menjadi penyemangat hingga bisa menjadi seperti sekarang. Beliaulah Saharuddin Daming, tunanetra pertama yang menjadi komisioner Komnas HAM. Pria kelahiran Parepare 28 Mei 1968 ini tidak pernah menyangka akan lolos fit and propper test di DPR Senayan, Jakarta 2007 silam.

“Berangkat dari fenomena keterpurukan dan rendahnya persebsi publik terhadap penyandang disabilitas maka saya berusaha sekeras mungkin untuk melawan semua itu. Karena tidak ada yang bisa menolong selain diri saya sendiri, bahkan negara-pun tidak bisa diharapkan.“
Salah satu bentuk perlawanan alumni Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin ini adalah dengan masuk ke sekolah umum.  Hingga SMA dan masuk ke perguruan tinggi, ada saja cara untuk bisa diterima. Diceritakannya bahwa ia pernah dianggap peminta sumbangan di hari pertama masuk ke perguruan tinggi. Baginya dilecehkan dan direndahkan justru menjadi motivasi.

“ ... dan menyadarkan bahwa saya tinggal ditempat yang diskondusif untuk penyandang disabitilas.“
Ditambahkan doktor bidang hukum ini bahwa minder yang secara harfiah banyak dirasakan para difabel tidak akan menyelesaikan masalah malah melahirkan keterpurukan yang makin menjadi. Hal pertama untuk mengatasinya dengan self confodence. Kepercayaan diri yang menegakkan kepalanya dan meranggapan bahwa “saya bisa” meskipun lingkungan memojokkan dan membuatnya tidak bisa.
Argumennya adalah bahwa yang membuat para difabel tidak bisa maju adalah bukan mareka mereka cacat tapi karena vonis sperotif dan primitif dari lingkungan sosial. Selain itu sikap apriori dan sinisme yang kental di masyarakat awam.
Menurutnya disabilitas adalah anugerah Tuhan berbentuk kekuatan tersembunyi yang perlahan harus ditemukan agar dapat dilihat publik. Namun tidak banyak orang yang bisa memahami kondisi penyandang tunanetra dan menghargai hak asasinya. Bagi kebanyakan mereka difabel adalah aib. Tapi baginya hal ini merupakan kehormatan model baru dari Tuhan untuk mengkonfrontasikan antara sempurna dengan yang tidak.

“Karena bagaimana yang sempurna bisa dikatakan sempurna kalau tidak ada yang tidak sempurna.”
Selain itu banyak hal yang mendorongnya untuk melawan diskriminasi dan marginalisasi terhadap kaum difabel. Puncaknya ketika penyandang tunanetra sejak umur 10 tahun ini bergabung di Komnas HAM.  Apalagi untuk menjadi komisioner yang tidak mudah. Dijelaskannya bahwa yang ia raih hingga sekarang tidak tiba-tiba, semuanya bertahap.
Keterunggulan ditentukan dari semangat dan kemamuan mengeksplor setiap individu, yang berdeba-beda pastinya. Bahwa pada dasarnya setiap tindakan pasti ada kendalanya namun bagaimana me-manage dan meminimalisir tangtangan dari diri sendiri, yaitu kepercayaan diri.

“Untuk apa sekolah tinggi sedangkan yang lain banyak menganggur.”
Kalimat diatas bagi Komisioner Subkomisi Pendidikan dan Penyuluhan di Komnas HAM ini menggelincirkan banyak orang. Karena ia percaya bahwa prinsip pendidikan adalah long life, tidak mengenal waktu. Diceritakan tunanetra peraih gelar doktor bidang hukum pertama Indonesia ini saat seleksi UMPTN,

“... orang lain diawasi dua pengawas tiap ruang. Sedangkan saya bisa 20 pengawas dan hanya saya sendiri pesertanya. Mereka membantu membacakan soal dan memendahkannya ke kunci jawaban. Belum lagi wartawan yang meliput. ”
Para guru besar di kampusnya-pun turut menyangsikan kemampuan anak bungsu dari lima  bersaudara ini. Namun menurutnya inti dari ilmu itu bukan pengelihatan atau bentuk fisik lainnya tapi kemampuan nurani. Untuk itu ia sangat menentang klausula-klausula sehat jasmani dan rohani dimana fisik-lah yang ditonjolkan. Dimana yang dikatakan sehat adalah yang lengkap anggota tubuhnya.

“HAM di Indonesai belum menjadi priority.”
Juga karena belum pahamnya penyelenggara publik terhadap prinsip-prinsip HAM. Maka bila kebijakan publik yang lahir rentan terhadap pelanggaran HAM, itu hal yang wajar.

“Maka ubahlah tantangan menjadi peluang.”
Dituturkannya, remaja sekarang terkondisikan menjadi orang-orang cengeng, mengeluh dan mudah putus asa. Pada dasarnya Tuhan menjanjikan banyak rahmatnya namun ketidaksabaran yang membuat rahmat itu hilang. Generasi muda harusnya kreatif dan berpikir positif. Selain itu perspektif dangkal yang dipakai remaja membuat mereka menggagalkan peluangnya sendiri.

“... faktannya bahwa pengetahuan HAM tidak dipahami secara meluas oleh banyak orang terutama pejabat publik.”
Decision maker merasa memiliki kewenangan dan otoriti, tidak peduli dengan hak orang lain. Selama pemahaman HAM belum clear dan menempatkannya diposisi yang baik maka selama itu pula HAM tidak akan pernah menjadi instrumen menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan warga negara.
Semoga saja HAM yang seharusnya bisa menguasai proses sosial di Indonesia. Rizka

2 komentar: