foto: detak-unsyiah.com |
Menurut
beliau, kekurangan fisiknya merupakan suatu kelebihan yang menjadi penyemangat
hingga bisa menjadi seperti sekarang. Beliaulah Saharuddin Daming, tunanetra
pertama yang menjadi komisioner Komnas HAM. Pria kelahiran Parepare 28 Mei 1968
ini tidak pernah menyangka akan lolos fit
and propper test di DPR Senayan, Jakarta 2007 silam.
“Berangkat dari fenomena keterpurukan
dan rendahnya persebsi publik terhadap penyandang disabilitas maka saya
berusaha sekeras mungkin untuk melawan semua itu. Karena tidak ada yang bisa
menolong selain diri saya sendiri, bahkan negara-pun tidak bisa diharapkan.“
Salah
satu bentuk perlawanan alumni Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin ini adalah
dengan masuk ke sekolah umum. Hingga SMA
dan masuk ke perguruan tinggi, ada saja cara untuk bisa diterima. Diceritakannya
bahwa ia pernah dianggap peminta sumbangan di hari pertama masuk ke perguruan
tinggi. Baginya dilecehkan dan direndahkan justru menjadi motivasi.
Ditambahkan
doktor bidang hukum ini bahwa minder yang secara harfiah banyak dirasakan para
difabel tidak akan menyelesaikan masalah malah melahirkan keterpurukan yang
makin menjadi. Hal pertama untuk mengatasinya dengan self confodence. Kepercayaan diri yang menegakkan kepalanya dan
meranggapan bahwa “saya bisa” meskipun lingkungan memojokkan dan membuatnya
tidak bisa.
Argumennya
adalah bahwa yang membuat para difabel tidak bisa maju adalah bukan mareka
mereka cacat tapi karena vonis sperotif dan primitif dari lingkungan sosial.
Selain itu sikap apriori dan sinisme yang kental di masyarakat awam.
Menurutnya
disabilitas adalah anugerah Tuhan berbentuk kekuatan tersembunyi yang perlahan
harus ditemukan agar dapat dilihat publik. Namun tidak banyak orang yang bisa
memahami kondisi penyandang tunanetra dan menghargai hak asasinya. Bagi kebanyakan
mereka difabel adalah aib. Tapi baginya hal ini merupakan kehormatan model baru
dari Tuhan untuk mengkonfrontasikan antara sempurna dengan yang tidak.
“Karena bagaimana yang sempurna bisa
dikatakan sempurna kalau tidak ada yang tidak sempurna.”
Selain
itu banyak hal yang mendorongnya untuk melawan diskriminasi dan marginalisasi
terhadap kaum difabel. Puncaknya ketika penyandang tunanetra sejak umur 10
tahun ini bergabung di Komnas HAM.
Apalagi untuk menjadi komisioner yang tidak mudah. Dijelaskannya bahwa
yang ia raih hingga sekarang tidak tiba-tiba, semuanya bertahap.
Keterunggulan
ditentukan dari semangat dan kemamuan mengeksplor setiap individu, yang
berdeba-beda pastinya. Bahwa pada dasarnya setiap tindakan pasti ada kendalanya
namun bagaimana me-manage dan meminimalisir
tangtangan dari diri sendiri, yaitu kepercayaan diri.
“Untuk apa sekolah tinggi sedangkan
yang lain banyak menganggur.”
Kalimat
diatas bagi Komisioner Subkomisi
Pendidikan dan Penyuluhan di Komnas HAM ini menggelincirkan banyak orang.
Karena ia percaya bahwa prinsip pendidikan adalah long life, tidak mengenal waktu. Diceritakan tunanetra peraih gelar
doktor bidang hukum pertama Indonesia ini saat seleksi UMPTN,
“...
orang lain diawasi dua pengawas tiap ruang. Sedangkan saya bisa 20 pengawas dan
hanya saya sendiri pesertanya. Mereka membantu membacakan soal dan
memendahkannya ke kunci jawaban. Belum lagi wartawan yang meliput. ”
Para
guru besar di kampusnya-pun turut menyangsikan kemampuan anak bungsu dari
lima bersaudara ini. Namun menurutnya
inti dari ilmu itu bukan pengelihatan atau bentuk fisik lainnya tapi kemampuan
nurani. Untuk itu ia sangat menentang klausula-klausula sehat jasmani dan
rohani dimana fisik-lah yang ditonjolkan. Dimana yang dikatakan sehat adalah
yang lengkap anggota tubuhnya.
“HAM di Indonesai belum menjadi
priority.”
Juga
karena belum pahamnya penyelenggara publik terhadap prinsip-prinsip HAM. Maka
bila kebijakan publik yang lahir rentan terhadap pelanggaran HAM, itu hal yang
wajar.
“Maka ubahlah tantangan menjadi
peluang.”
Dituturkannya,
remaja sekarang terkondisikan menjadi orang-orang cengeng, mengeluh dan mudah
putus asa. Pada dasarnya Tuhan menjanjikan banyak rahmatnya namun
ketidaksabaran yang membuat rahmat itu hilang. Generasi muda harusnya kreatif
dan berpikir positif. Selain itu perspektif dangkal yang dipakai remaja membuat
mereka menggagalkan peluangnya sendiri.
“... faktannya bahwa pengetahuan HAM
tidak dipahami secara meluas oleh banyak orang terutama pejabat publik.”
Decision maker merasa memiliki kewenangan dan otoriti, tidak
peduli dengan hak orang lain. Selama pemahaman HAM belum clear dan menempatkannya diposisi yang baik maka selama itu pula
HAM tidak akan pernah menjadi instrumen menciptakan kemakmuran dan
kesejahteraan warga negara.
Semoga
saja HAM yang seharusnya bisa menguasai proses sosial di Indonesia. Rizka
rizka... kerennn... boleh kumasukan ke blog ku gak?
BalasHapusmaman.. thanks :)
BalasHapusboleh, make backlink yak.